Friday, March 21, 2014

Sedimentasi pemikiran

Perlu setahun untuk mengendapkan apa yang telah saya jalani selama tiga tahun kebelakang, ketika saya berstatus sebagai pegawai swasta. Lika-liku pekerjaan, pergantian pegawai, pemikiran tentang hidup, semua terasa begitu berbeda sekarang.
Saat cara pandang saya berbeda tentang pekerjaan, saya jadi teringat seorang teman dari Yogyakarta. Beliau bergabung hanya beberapa bulan setelah saya. Beliau memiliki cara pandang yang menurut saya berbeda dengan kebanyakan rekan kerja saya. Komentar saya dulu hanya, “kok gitu ya?”. Jika diingat-ingat, sekarang komentar saya sangat jauh berbeda.
Beliau lah yang berada di jajaran terdepan menyuarakan pulang harus tepat waktu. Jika kita datang tepat waktu, mengapa harus pulang terlambat. Ketika beliau bekerja di Yogya, detik-detik akhir bekerja selalu dinanti-nanti, karena itulah saatnya pulang. Berbeda sekali dengan di Bandung. Ya, kultur tempat saya bekerja memang memiliki kelebihan jam bekerja, baik disengaja ataupun tidak. Alhamdulillah , terakhir saya bekerja, jam pulang kami lebih sering tepat waktu. Sampai-sampai ada perkumpulan “sekte teng-go”. Dulu saya berpikir, kenapa sih harus pulang tepat waktu? Lebih sedikit ga apa-apa lah. Tapi sekarang saya mengerti, ada hak orang lain terhadap kita yang menanti. Orang yang menanti dirumah tidak peduli kita sibuk apa, ada kepentingan apa, mereka hanya tau waktu ini adalah waktumu untuk kami.
Perbandingan kerja di Bandung dan Yogya tak hanya dari segi waktu pulang. Beliau sering bercerita bahwa di Yogya, beliau merasa lebih bisa berkarya. Komentar saya waktu itu hanya jangan samakan kami lah, beda donk Bandung dan Yogya. Kalau ingat itu, sekarang saya merasa dulu saya sombong sekali. Rasa-rasanya ada aura keangkuhan dari komentar yang itu. Keangkuhan bahwa kantor di Bandung  sibuk sekali, kami adalah pionir, dsb. Astagfirullah, mudah-mudahan dosa saya diampuni.
Saya teringat pertanyaan beliau kepada saya mengenai ketidakmampuan saya mengemudikan kendaraan. Komentar saya dulu, “ga repot bu, kan gampang ada angkot”. Sekarang baru saya mengerti ketika saya tinggal di bukit. Susah kemana-mana. Sekarang saya belajar menjadi wanita yang lebih mandiri.

Terima kasih untuk pembelajaran kehidupannya. Mudah-mudahan semua ini menjadi pembelajaran bagi saya untuk menjadi lebih baik dan lebih bijak.